Ilustrasi |
Berjuang Dengan Kemandirian
“Dia berjalan sendirian, akan meninggal sendirian, dan dibangkitkan sendirian.” Itulah ungkapan Rosulullah saw untuk Abu Dzar Al-Ghifari. Saat itu Rosulullah bersama pasukan Islam sedang istirahat di Tabuk. Ketika Abu Dzar hendak berangkat ke Tabuk, Rosulullah dengan pasukannya sudah meninggalkan kota Madinah.
Sementara Abu Dzar masih harus mencari-cari perbekalan yang akan ia bawa dan kendaraan yang dapat mengantarkannya. Namun yang ia dapatkan hanya seekor keledai lemah. Tak apalah, ia berharap keledai itu bisa membawa perbekalan, meski ia harus berjalan. Apa hendak dikata. Belum jauh berjalan, binatang itu sudah loyo.
Bukannya mempercepat perjalanan Abu Dzar, justru sebaliknya. Abu Dzar harus sabar mengikuti langkah-langkah keledai lemah itu. Itu pun tak bertahan lama. Akhirnya, ia panggul barang bawaannya dan membiarkan keledai pergi. Maka sahabat yang agung itu berjalan kaki sendirian, sehingga menyusul rombongan Rosulullah saw. Saat itulah, dari kejauhan Rosulullah melihat sebuah titik hitam. Rosulullah yakin, itu adalah Abu Dzar. Lalu keluarlah ucapan beliau di atas.
Abu Dzar adalah contoh sebuah perjuangan dalam kesendirian. Simbol betapa perjuangan harus tetap berjalan, meski tinggal sendiri tanpa kawan. Seperti kisah perang Tabuk yang sarat pelajaran itu.
Masa itu adalah hari-hari sulit bagi kaum muslimin. Udara panas membakar. Kas negara tidak menyimpan banyak duit. Sementara ada informasi bahwa bangsa Romawi akan menyerang. Karenanya, untuk pergi ke Tabuk, kaum muslimin harus membekali dan mempersenjatai diri sendiri. Meskipun Utsman bin Affan misalnya, telah berkorban amat besar untuk proyek Tabuk ini, namun ia hanya mampu memenuhi sepertiga kebutuhan pasukan. Tak lain karena jauhnya jarak ke Tabuk dan banyaknya pasukan yang berangkat memenuhi panggilan jihad.
Al-Qur’an merekam satu sisi kesulitan yang terjadi saat itu. “Dan tiada (pula dosa bila tidak ikut berperang) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu supaya engkau memberi kendaraan, lalu kamu berkata,’Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih, lantaran tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (At Taubah 92)
Betapa sedihnya tak bisa membiayai diri sendiri untuk berangkat bersama Rosulullah. Tapi di sisi lain, banyak pengecut-pengecut yang memanfaatkan pernyataan Allah tersebut. Tentu saja orang munafiq semakin merasa memperoleh “legitimasi” untuk tidak mengikuti Rosulullah saw. “Kalau yang engkau serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan jarak yang tidak terlalu jauh niscaya mereka akan mengikutimu; akan tetapi tempat yang dituju itu terasa jauh bagi mereka,” kata Allah (QS: 9:42) menjelaskan sikap pengecut orang-orang hasil “didikan” Abdullah bin Ubay itu.
Orang-orang munafik, seperti diceritakan dalam Al Qur’an, tidak akan berangkat kecuali jika jarak yang akan mereka lalui tidak terlalu jauh dan keuntungan yang mereka peroleh mudah. Bagi mereka, perang Tabuk, seperti perang-perang lainnya, penuh ketidakpastian. Pengorbanan, kesulitan, dan bahkan kematian sudah pasti. Sementara kompensasi material dari segala pengorbanan itu, bagi mereka, belumlah pasti. Mereka menganggap pengorbanan apa pun akan sia-sia, kecuali kalau berefek langsung pada perolehan hal-hal yang bersifat duniawi. Selain itu, orang-orang munafik yang malas berjuang itu pun menghembuskan provokasi. Mereka menghasut kaum muslimin dan mengatakan, “Janganlah kalian berangkat ke medan perang di hari panas seperti ini.” Tapi, justru itulah hikmahnya. Dengan kondisi itu, Allah mengungkap kepalsuan iman orang-orang munafik. Bandingkan dengan yang dilakukan Abu Dzar. Jarak yang sama, tingkat kesulitan yang sama, ia tempuh tanpa keluh kesah, tanpa rasa berat, walaupun terik matahari panas membakar. Tanpa merasa dihantui kesunyian, ia menempuh jarak tak kurang dari 900 km, berjalan kaki sendirian. Abu Dzar memang istimewa. Hari-hari ini berbagai belahan bumi Islam sedang merana. Menanti kehadiran para pejuang yang siap menjual dirinya untuk Allah. Menanti berulangnya sejarah emas perang Tabuk, terutama keteladanan sosok Abu Dzar. Saat semangat kolektifitas tak bisa diharapkan, maka kepedulian pribadilah yang bisa jadi tumpuan. Ketika berbagai lembaga, organisasi, institusi, apa pun namanya tak banyak membantu perjuangan, maka semangat seorang dirilah yang mampu menyambung nyawa perjuangan. Banyak orang mengeluhkan kurangnya SDM. Mereka juga sangat doyan “merintih” tentang kurangnya dukungan finansial. Fasilitas pun sering dikambinghitamkan dalam mencari solusi dari beratnya beban perjuangan Islam. Memang, tak mungkin menutup mata dari semua realitas itu. Tapi, pernahkah perjuangan berlalu tanpa beban?
Karenanya, sosok Abu Dzar, tak sekadar ditafsirkan semangat kesendirian. Tapi lebih dari itu adalah etos kemandirian luar biasa dari seorang Abu Dzar. Dalam segala keterbatasannya, ia tak mau merepotkan orang lain. Apalagi sampai “menggunting dalam lipatan” atau mencuri kesempatan dalam kesempitan. Sangat biadab orang-orang yang melakukan itu.
Bila di Ambon umat Islam harus berjuang, maka sosok Abu Dzar sangat dibutuhkan. Bila di Aceh umat Islam harus berjuang, maka sosok Abu Dzar sangat diperlukan. Sudah bukan jamannya lagi umat Islam menjadi beban perjuangan. Justru sebaliknya, umat harus berjuang mengurangi beban-beban itu. Dan, ikhlas menjadi dasar utama untuk melahirkan orang-orang seperti Abu Dzar. Mengapa? Dengan ikhlas seorang muslim menyadari bahwa tak ada pengorbanan yang sia-sia di mata Allah. Semua jerih payah akan diganti Allah SWT, dengan imbalan yang berlipat ganda. Semakin besar tantangan, sesungguhnya bermakna semakin besar peluang pahala. “Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah; dan tidak pula menginjak satu tempat yang membuat orang kafir marah dan tidaklah menimpakan satu bencana kepada musuh, melainkan dicatat untuk mereka dengan perbuatan itu suatu amal saleh.” (At-Taubah: 120).
Selain itu, di tengah-tengah perjuangan, sering muncul kecemburuan, ketersinggungan, karena senioritas dan hal lainnya. Karenanya, dengan hati yang ikhlas, semua itu insya Allah bisa dihilangkan. Rasa cemburu hanya membuka front dengan pihak yang sebetulnya bukan untuk dimusuhi. Pada gilirannya perjuangan hanya disibukkan dengan musuh yang diciptakan sendiri. Dengan ikhlas, perjuangan Islam tidak akan disibukkan intrik-intrik atau konflik gara-gara ambisi duniawi. Maka, jika ada yang harus dibenahi pada perjuangan Islam saat ini, pastikanlah nomor satunya adalah melakukan penempaan agar setiap personilnya memiliki jiwa ikhlas. Siap berjuang, meski hanya tinggal seorang. Di Ambon, di Aceh, dan juga di belahan bumi lainnya, perjuangan menegakkan kebenaran menantikan orang-orang seperti Abu Dzar. Yang tidak pernah terlalu berharap kepada orang lain, mengandalkan, apalagi bergantung kepada orang lain.
Orang-orang munafik, seperti diceritakan dalam Al Qur’an, tidak akan berangkat kecuali jika jarak yang akan mereka lalui tidak terlalu jauh dan keuntungan yang mereka peroleh mudah. Bagi mereka, perang Tabuk, seperti perang-perang lainnya, penuh ketidakpastian. Pengorbanan, kesulitan, dan bahkan kematian sudah pasti. Sementara kompensasi material dari segala pengorbanan itu, bagi mereka, belumlah pasti. Mereka menganggap pengorbanan apa pun akan sia-sia, kecuali kalau berefek langsung pada perolehan hal-hal yang bersifat duniawi. Selain itu, orang-orang munafik yang malas berjuang itu pun menghembuskan provokasi. Mereka menghasut kaum muslimin dan mengatakan, “Janganlah kalian berangkat ke medan perang di hari panas seperti ini.” Tapi, justru itulah hikmahnya. Dengan kondisi itu, Allah mengungkap kepalsuan iman orang-orang munafik. Bandingkan dengan yang dilakukan Abu Dzar. Jarak yang sama, tingkat kesulitan yang sama, ia tempuh tanpa keluh kesah, tanpa rasa berat, walaupun terik matahari panas membakar. Tanpa merasa dihantui kesunyian, ia menempuh jarak tak kurang dari 900 km, berjalan kaki sendirian. Abu Dzar memang istimewa. Hari-hari ini berbagai belahan bumi Islam sedang merana. Menanti kehadiran para pejuang yang siap menjual dirinya untuk Allah. Menanti berulangnya sejarah emas perang Tabuk, terutama keteladanan sosok Abu Dzar. Saat semangat kolektifitas tak bisa diharapkan, maka kepedulian pribadilah yang bisa jadi tumpuan. Ketika berbagai lembaga, organisasi, institusi, apa pun namanya tak banyak membantu perjuangan, maka semangat seorang dirilah yang mampu menyambung nyawa perjuangan. Banyak orang mengeluhkan kurangnya SDM. Mereka juga sangat doyan “merintih” tentang kurangnya dukungan finansial. Fasilitas pun sering dikambinghitamkan dalam mencari solusi dari beratnya beban perjuangan Islam. Memang, tak mungkin menutup mata dari semua realitas itu. Tapi, pernahkah perjuangan berlalu tanpa beban?
Karenanya, sosok Abu Dzar, tak sekadar ditafsirkan semangat kesendirian. Tapi lebih dari itu adalah etos kemandirian luar biasa dari seorang Abu Dzar. Dalam segala keterbatasannya, ia tak mau merepotkan orang lain. Apalagi sampai “menggunting dalam lipatan” atau mencuri kesempatan dalam kesempitan. Sangat biadab orang-orang yang melakukan itu.
Bila di Ambon umat Islam harus berjuang, maka sosok Abu Dzar sangat dibutuhkan. Bila di Aceh umat Islam harus berjuang, maka sosok Abu Dzar sangat diperlukan. Sudah bukan jamannya lagi umat Islam menjadi beban perjuangan. Justru sebaliknya, umat harus berjuang mengurangi beban-beban itu. Dan, ikhlas menjadi dasar utama untuk melahirkan orang-orang seperti Abu Dzar. Mengapa? Dengan ikhlas seorang muslim menyadari bahwa tak ada pengorbanan yang sia-sia di mata Allah. Semua jerih payah akan diganti Allah SWT, dengan imbalan yang berlipat ganda. Semakin besar tantangan, sesungguhnya bermakna semakin besar peluang pahala. “Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah; dan tidak pula menginjak satu tempat yang membuat orang kafir marah dan tidaklah menimpakan satu bencana kepada musuh, melainkan dicatat untuk mereka dengan perbuatan itu suatu amal saleh.” (At-Taubah: 120).
Selain itu, di tengah-tengah perjuangan, sering muncul kecemburuan, ketersinggungan, karena senioritas dan hal lainnya. Karenanya, dengan hati yang ikhlas, semua itu insya Allah bisa dihilangkan. Rasa cemburu hanya membuka front dengan pihak yang sebetulnya bukan untuk dimusuhi. Pada gilirannya perjuangan hanya disibukkan dengan musuh yang diciptakan sendiri. Dengan ikhlas, perjuangan Islam tidak akan disibukkan intrik-intrik atau konflik gara-gara ambisi duniawi. Maka, jika ada yang harus dibenahi pada perjuangan Islam saat ini, pastikanlah nomor satunya adalah melakukan penempaan agar setiap personilnya memiliki jiwa ikhlas. Siap berjuang, meski hanya tinggal seorang. Di Ambon, di Aceh, dan juga di belahan bumi lainnya, perjuangan menegakkan kebenaran menantikan orang-orang seperti Abu Dzar. Yang tidak pernah terlalu berharap kepada orang lain, mengandalkan, apalagi bergantung kepada orang lain.